Salam Lestari…

Alhamdulillah, misi ambius saya menggapai tiga puncak Sumatera Utara akhirnya tuntas juga. Gunung Sorik Marapi, Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung telah berhasil saya gapai puncaknya awal bulan juni ini. Sebuah perjalanan panjang yang saya beri nama “Expedition Three Summit North Sumatera”.

Diawali dengan pendakian Gunung Sorik Marapi akhir Desember 2011 kemarin. (Anda dapat membaca artikelnya di tulisan saya bertanggal 9 februari 2012 klik disini. ). Kemudian menyiapakan segala sesuatunya untuk pendakian dua puncak tersisa selama lima bulan. Kenapa begitu lama? Ya, ini dikarenakan dua gunung terakhir letaknya cukup jauh dari tempat saya tinggal, tak seperti Gnung Sorik Marapai letaknya cukup dekat sehingga gunung tersebut yang pertama saya daki. Letaknya yang jauh tentu saja membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hala inilah yang memakan waktu, karena saya harus mengumpulkan uang sedikit demi sedikit untuk keperluan Expedisi.

Peta rute perjalanan

Hari Pertama

Tepat hari jumat tanggal 1 Juni 2012, dengan penuh semangat perjalanan di mulai. Dengan menggunakan sepeda motor saya berangkat dari Kota Padangsidimpuan bersama satu teman saya. Ya, hanya berdua saja saya melakukan perjalanan panjang ini. Mungkin karena sudah berambisi besar makanya nekat melakukan perjalanan Padangsidimpuan – Medan sejauh 389 Km. Skenario rute perjalanan adalah Padangsidimpuan sebagai titik start lanjut ke Tarutung – Balige – Parapat – Pematang Siantar – Tebing Tinggi – Lubuk Pakam – Medan.

Meninggalkan Padangsidimpuan tepat pukul 10 pagi. Semua berjalan lancar hingga sampai di Pahae pukul 12.00. Berhubung karena hari Jumat, kami harus  menunaikan Sholat Jumat di Salah satu mesjid di Pahae. Teman saya menjadi Muadzin (orang yang mengkumandangkan adzan) di mesjid tersebut. Setelah Sholat jumat selesai sekitar pukul 13.00 perjalanan dilanjutkan kembali menuju Kota Tarutung.

Memasuki Kota Tarutung

Sampai di Tarutung sekitar pukul 14.30. Dan sampai di Balige pukul 16.00, dari kota balige ini pangkal sebelah utara danau Toba sudah terlihat. Makan siang di tepian danau Toba sangatlah menyenangkan. Dikota ini pula kami sempat mengunjungi Monumen Raja Napitupulu. Dari Balige sejam kemudian kami sampai di Kota Parapat, Kota yang terkenal seantero jagad. Karena di kota inilah wisatawan dari berbagai belahan bumi menyeberang ke Pulau Samosir. Pulau yang menawarkan sejuta pesona alam dan adat budaya suku Batak. Sayang kami tak sempat untuk menyebrang ke pulau ini karena waktu yang terbatas.

Memasuki Kab. Toba Samosir

Di Parapat kami hanya sempat beristirahat sembari minum kopi di tepian danau Toba sembari melihat pemandangan senja. Dimana banyak nelayan yang memancing ikan di tepiannya. Tak berapa lama setelah tenaga pulih perjalanan kembali di lanjutkan menunju kota Pemantang Siantar. Pukul 20.00 kami sampai di kota ini, tanpa istirahat kami teruskan menuju Tebing Tinggi dan sampai disana pukul 20.45. Disusul kemudian Kota Lubuk Pakam pukul 22.00 dan tiba di kota Medan pukul 00.00.

Parapat

Dikota Medan, kami tidur di Kostan kawan lama yang memang kuliah disana. Malam ini kami beristirahat memulihkan tenaga setelah menempuh perjalanan panjang 14 jam berkendara sepeda motor. Istihat ini sangat kami butuhkan mengingat besok pagi kami menuju Kota Berastagi untuk Pendakian Gunung Sinabung.

Hari Kedua, -Gn. Sinabung-
Mungkin karena kondisi tubuh yang sangat lelah, kami bangun dari tidur pukul 11 siang. Haha, ya…inilah yang terjadi. Dengan demikian rencana untuk ke Berastagi pada pagi hari gagal. Kami putuskan untuk berangkat setelah makan siang. Dan jadilah pukul 13.00 kami baru bergerak menuju Berastagi. Dalam perjalanan menuju Berastagi kawan lama tempat kami “numpang tidur” tadi malam ikut serta.

Bukan kota besar namanya kalu tidak macet. Ya..itulah Medan selalu macet, tentu saja ini memperlambat waktu. Ditambah hujan yang turun di sore hari memaksa kami harus berteduh menunggu hujan reda. Jadilah kami sampai di berastagi sekitar pukul 22.00. Ternyata sulit menari warung makan HALAL di kota ini. Harus berhati-hati disini karena penduduknya yang mayoritas suku Karo dan bergama Kristen. Akhirnya di salah satu sudut kota di jejeran gerobak kaki lima ada sebuah warung yang menyajikan masakan muslim.

Makan malam telah selesai, dilanjutkan kemudian menuju Danau Lau kawar yang memakan waktu 1,5 Jam dari pusat kota Berastagi. Danau Lau Kawar adalah sebuah danau yang letaknya persisi di kaki Gunung Sinabung. Ini adalah jalur pendakian favorit bagi pendaki Sinabung. Karena kita dapat mendirikan tenda di tepian danau, beristirahat sebelum mendaki. Fasilitas disini cukup lengkap dan kebersihannya terjamin. Berikut retribusi yang harus di bayar bila akan mendaki Sinabung melalui jalur ini:
Retribusi Parkir : Rp 3.000
Retribusi tempat : Rp. 3.000
Retribusi Pendakian: Rp 5.000

Gunung Sinabung dilihat dari Tepi Danau Lau Kawar

Uang harus di keluarkan itu wajar dan masih dalam batasan normal. Mengingat fasilitas kenyamanan yang diberikan. Sebelum mendaki kita di wajibkan melapor pada pos pendakian dan mengisi formulir pendakian yang diberikan. Tips bagi anda yang akan naik ke Sinabung melalui jalur ini bila tidak berniat bermalam di gunung dapat menitipkan barang yang tidak dibutuhkan sewaktu mendaki di Pos pendakian yang berupa warung.

Pukul 10.00, setelah semua admistrasi pendakian selesai kami mulai menapaki jalan setapak menuju puncak Sinabung yang terlihat gumpalan asap putih dari aktifitas vulkanik gunung berapi ini. Terlihat di satu persimpangan di petunjuk arah menuju puncak dengan tulisan “Puncak Gn. Sinabung 5 Km”.

Di awal pendakian kita akan melewati perkebunan Kol, Kentang, jeruk dll milik masyarakat. Disusul kemudian dengan hutan tropis khas pegunungan di Indonesia. Di sepanjang jalan menajak kami bertemu banyak pendaki yang baru turun, nampaknya mereka naik malam tadi dan bermalam di puncak Sinabung. Kadang kala sewaktu beristirahat kami berbincang dengan mereka yang berasal dari berbagai penjuru daerah. Ada yang dari aceh bahkan dari jawa. Tampakanya pesona Sinabung memikat hati mereka sama seperti kami yang datang dari jauh demi keinginan menginjakkan kaki di Puncak Sinabung.

Gunung Sinabung

Rute pendakian dari jalur ini kita akan menjumpai tiga Shelter sebagai tempat istirahat para pendaki. Di shelter II kita mulai memasuki hutan yang berlumut tebal menempel di pohon dan akar pohon yang mencuat timbul dari tanah yang telah di injak ribuan pendaki. Disusul kemudian kita mendapati vegetasi berupa Pandan raksasa (ntah apa nama ilmiahnya) di sepanjang jalan. Di dekat sinilah shelter III berada. Sumber air bersih terakhir hanya ada pada shelter III. Disarankan bagi pendaki agar mengisi persediaan air disini sebelum menuju puncak. Sepanjang perjalanan menuju puncak, kami bertemu dengan banyak pendaki dari berbagai daerah yang turun gunung. Memang kebiasaan pendakian Gunung Sinabung ialah para pendaki naik pada malam hari, bermalam disana dan mendirkan tenda di puncak demi dapat menyaksikan matahari terbit dari puncak gunung.

Sumber air terakhir di Shelter III

Berikutnya perjalanan kami mulai meninggalkan hutan pandan dan di susul dengan Rute cadas. Cadas adalah rute pendakian mendaki puncak yang berupa batuan cadas dengan kemiringan yang lumayan extrim. Biasanya tenaga para pendaki akan terkuras habis di sini. Begitu pula dengan yang kami alami. Berjalan merangkak, kaki bertumpu pada selah-selah batu sedangkan tangan berpegang pada batuan dan ranting tumbuhan perdu. Salah melangkah atau berpijak maut mengancam yaitu jatuh ke bawah dengan resiko terbentur batuan. Mengapa jalur ini begitu berat dan melelahkan? Itu karena kita jarus berjalan perlahan di batuan yang labil serta terpanggang teriknya matahari yang menerpa tubuh karena disini kita tidak lagi menjumpai pepohonan tinggi, hanya tumbuhan perdu dan ilalang saja.

Rute cadas, berjalan merangkak karena sudut kemiringan

Tapi dibalik itu semua di kala kami istirahat sekedar mengatur nafas dan detak jantung sembari menenggak air. Mata akan dimanjakan dengan pemandangan di depan kita. Di bawah kita di suguhkan pemandangan yang luar biasa indah. Danau Kau Kawar tampak begitu jelas dan pegunungan bukit barisan tampak berjejer sambung menyambung. Sesekali asap putih menghalangi pandangan. Asap putih itu berasal dari kawah Gunung Sinabung. Horee!!! Itu tandanya kami akan segera mencapai puncak.

Danau Lau Kawar dilihat dari Cadas Sinabung

Dengan semangat, kaki mulai di langkahkan lagi menapaki batuan cadas. Memandang ke arah atas tampak puncak Gunung Sinabung yang berdiri gagah. Itu membuat semangat kembali timbul untuk terus berusaha melewati cadas yang menyiksa otot-otot kaki.

Tiba di Puncak
setelah jalur cadas habis terlewati, tibalah kami di dataran luas seukuran lapanagn Futsal lah mungkin. Disisi barat tampak kawah gunung Sinabung yang menghitam bekas letusan 2010 silam. Di tengah kawah ada berdiri kokok batu berwarna hitam yang meruncing ujungnya. Orang biasa menyebutnya ‘Batu Runcing’ . Agak ngeri rasanya berdiri di tepian kawah ini melihat dasar kawah yang dalam dan menghitam ditambah asap putih yang tebal dari dasar kawah. Puas dengan itu kami menuju puncak tertinggi yang ditandai dengan tugu titik ketinggian. Puncak tertinggi berada di timur kawah utama. Sesampainya di puncak tertinggi kami langsung diterpa angin yang sangat kencang. Tubuh ini pun sesekali seakan goyah terbaya angin. Dingin sangat terasa, ujung jari tangan seakan tak terasa lagi.

Berhasil mencapai puncak Gunung Sinabung

That is it!!! Inilah puncak yang kami tuju. Setelah 5 jam berjuang mendaki menghadapi bermacam rintangan, Sekarang kami berada di Puncak tertinggi Gunung Sinabung. Satu impian telah terwujud yaitu menapakkan kaki dan berdiri gagah di puncak gunung ini. Pemandangan luas kesegala penjuru tak ada yang menghalangi. Hanya sesekali asap putuh dari kawah yang menghalangi pandangan pemandangan alam indah ciptaan Tuhan ini. Danau Lau Kawar, Gunung Sibayak, kota Berastagi terlihat jelas dari Pucak ini. Pemandangan yang tidak semua orang dapat menikmatinya.

Di puncak Gunung Sinabung

Sekitar satu jam kami berada di puncak, kami memutuskan turun mengingat perjalanan turun masih sangat panjang dan menghindari agar tidak kemalaman di jalan. Turun gunung biasanya lebih cepat dari pada naik. Itu sudah pasti.haha :D..
Ya, kalau pada saat naik kami memakan waktu 5 jam, untuk turun kami hanya memakan waktu 4 jam. Menjelang maghrib kami sudah tiba kembali di Danau Lau Kawar yang menjadi Base Camp. Melepas lelah sembari minum teh manis sambil menatap air kemilau Danau lau kawar yang diterpa matahri senja menjadi obat mujarab penghilang lelah.

Alhamdulillah, akhirnya kami dapat menyelesaikan Pendakian Sinabung yang menjadi target utama expedisi dengan sukses.

Hari Ketiga -Pendakian Gunung sibayak-
Setelah kemarin berhasil menggapai Puncak Sinabung, hari ini kami akan mendaki Gunung Sibayak. Gunung Sibayak adalah gunung api yang berketinggian 2.094 Mdpl. Gunung berada di Tanah karo, Berastagi.

Pagi pukul 10 dengan sepeda motor kami mengarah ke Gunung Sibayak. Masuk dari pemandian air panas Sidebu-debu. Tidak ada registrasi dan pos pendakian untuk mendaki gunung ini. Dengan menyusuri jalanan aspal kecil menajak dan berliku kami jalani. Hingga sampai disebuah titik longsoran yang membuat kami berhenti. Setelah dilihat dan diperhitungkan, kami putuskan untuk melewati longsoran tersebut dengan cara mendorong sepeda motor dan sesekali mengangkat. Tak sia-sia, akhirnya motor terbebas dari longsoran tersebut dan perjalanan dilanjutkan.

Longsoran di rute menuju Gunung Sibayak

Terus menyusuri jalanan hingga sampai di ujung aspal yang berupa lapangan luas. Kami putuskan untuk masak sebelum mendaki disini berhubung disini ada sumber air bersih berupa telaga kecil. Selama kami masak, banyak bule-bule yang lewat. Ada yang hendak naik ke Sibayak ataupun baru turun.

Di antara mereka ada 6 orang turis asal Belanda. Saya perhatikan mereka sperti sedang kebingungan mencarijalan hendak ke Puncak. Dengan kemampuan bahasa inggris yang kurang dari pas-pasan saya hampiri mereka. Saya tanyakan masalah mereka dan ternyata betul dugaan saya. Mereka tidak tau jalan menuju puncak, tentu saja saya beri tahu mereka jalan yang benar. Tapi apa? Salah satu dari mereka tidak percaya dengan jalur yang saya tunjukan. Menggunakan bahasa belanda, dia mengajak rekannya mencari jalan lain. Yasudah saya tinggalkan, toh saya sudah coba bantu tapi merekanya yang tidak percaya. Kembali saya lanjutkan memasak. Sedangkan turis-turis tadi telah menghilang di balik pepohonan. Tak berapa lama mereka muncul kembali dari balik pepohonan tadi. Tentu saja kami tertawa melihat tingkah mereka yang keras kepala padahal tidak tahu jalan. “Bule nyasar” dalam batin saya. Singkat kata mereka kembali mengikuti jalur yang saya tunjukan sebelumnya. Jalur yang sempat mereka tidak percayai tadi. Lucu dan membuat saya tersenyum bila mengingat hal tersebut.

Setelah makan siang selesai kami bersipa menuju puncak Sibayak. Kami hanya membawa barang-barang yang penting saja, sedangkan barang kami lainnya disembunyikan di semak-semak agar mengurangi beban.

Di Puncak tertinggi gunung Sibayak

 puncak Gunung SinabungJalur menuju puncak Sibayak berupa anak tangga dari semen yang kelihatan sudah mulai hancur termakan usia. Dikanan dan kiri ditumbuhi pohon yang menyerupai pandan raksasa. Disusul kemudian dengan tebing-tebing batuan kapur berwarna putih dan akhirnya tiba di puncak Sibayak. Kami hanya butuh 45 menit untuk tiba di puncak. Disana ternyata banyak pendaki lokal dan turis asing yang sedang menikmati pemandangan ke kawah. Kami memutuskan untuk menuju Puncak tertingginya. Sesampainya disana pemandangan sangat indah tersaji.

Di puncak tertinggi ada gundukan batu besar, segera saja saya naiki batu besar itu dan duduk di atasnya. Wahh…saya duduk di Puncak tertinggi Gunung sibayak. Menikmati pemandangan dari tempat saya duduk sangatlah puas. Tak ada yang menghalangi karena saya berada di tempat tertinggi.

Berdiri di puncak tertinggi Gunung Sibayak

Cuaca yang cerah menghasilkan gambar yang bagus, di belakang saya adalah Kota Berstagi dilihat dari Puncak Sibayak

Di kejauhan tampak Puncak Gunung Sinabung yang asapnya membumbung ke angkasa. Kota berastagi, Gunung Merek dan Gunung Sipiso-Piso serta danau Toba tampak dari sini. Namun saya tidak bisa berlama-lama menikmati pemandangan dari tempat ini karena semakin lama angin berhembus semakin kencang membuat tubuh kadang goyah karena hembusannya yang kencang.

Di kejauhan tampak menjulang tinggi puncak Gunung Sinabung

Dibandingkan dengan puncak Sinabung, saya merasa lebih indah pemndangan yang tersaji dari puncak Sibayak ini. Mungkin ini karena saat tiba di puncak tepat tengah hari di tambah cuaca yang pada saat itu memang cerah.

Hamparan pemandangan luas dari puncak Sibayak

Setelah puas menikmati pemandangan dan puas mengabadikan momen indah indah ke dalam foto kami putuskan untuk turun. Sekitar pukul 14.30 kami telah tiba kembali dititik awal pendakian, tempat kami masak tadi. Karena hari yang masih memungkinkan untuk dihabiskan kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju arah Kaban Jahe tempat Air Terjun Sipiso-piso berada.

Hari Keempat, -Air Terjun Sipiso-Piso-
Pukul 3 seusai turun dari Puncak Sibayak kami lanjutkan menuju Air Terjun Sipiso-Piso. Dari Gunung Sibayak menuju ke Air Terjun Sipiso-Piso kami tempuh dalam dua jam perjalanan. Sepanjang jalan terhampar kebun-kebun jeruk milik warga. Tentu saja ini menggoda saya untuk mencicipi jeruk segar langsung di kebunnya. Kami hentikan motor di salah satu kebung yang didepannya bertuliskan ‘Petik Sendiri’. Maksud hati hendak membeli tapi ternyata pemiliknya tidak berada ditempat tangan jahil mulai beraksi memetik beberapa buah jeruk. Siapa yang tak tergoda melihat jeruk yang banyak bergelantungan di dahannya.haha

Sekitar pukul 5 sore tibalah kami di Air terjun Sipiso-Piso. Dengan membayar tiket masuk Rp. 4.000/orang terlebih dahulu.  Tampak indah jatuhnya air dari ketinggian 120 meter. Bagaikan selendang putih terurai kebawah. Untuk menuju kedasar air terjun tersedia anak tangga yang meliuk-liuk mengikuti kontur tanah yang berliku dan menurun. Ratusan anak tangga kami lewati untuk sampai kedasar air terjun.

Ditempat ini banyak dikunjungi turis asing dan lokal. Salah satu turis asal Malaysia yang tampaknya keturunan India berumur 60an meminta kepada kami agar ditemani turun kebawah. Sambil berjalan menuruni anak tangga saya dan beliu berbicang dengan logat Malaysia yang kental (bahasa Melayu campur Inggris British). Beliau bercerita pernah menjuarai kompetisi pendakian Gunung Kinabalu saat berumur 40an. Ternayata latar belakang beliau adalah pecinta alam, itulah yang membuat obrolan semakin enak. Beliau juga sempat memuji keindahan alam Indonesia yang tidak akan di jumpai di negeri asalnya. Tapi beliau juga perihatin melihat becana alam yang sering terjadi di Indonesia. Dari obrolan sepanjang jalan tersebut saya menarik kesimpulan, ternyata orang asing pun memperhatikan negara kita. Bahkan perkembangan politik yang sedang terjadi di negara kita pun dia ikut memperhatikan.

Tak berapa jauh kami berjalan sampai di sebuah pondokan beliau minta berhenti. Ternyata beliau sudah tidak sanggup lagi, maklum faktor umur. Karena tujuan kami hendak ke dsar air terjun kami meneruskan perjalanan. Beberapa langkah berjalan meninggalkan beliau, saya di panggil olehnya. Saya dekati ternyata dia mengeluarkan dompet dan mengambil sejumlah uang. Dua lembar uang ringgit Malaysia diberikan kepada saya sebagai kenang-kenangan.

Inilah air terjun Sipiso-piso yang terkenal itu

Berjalan terus hingga sampailah kami di dasar air terjun. Wow, Amazing! Sebuah kubangan jatuhan air yang mendebur. Diselimuti oleh percikan yang membentuk seperti embun yang membuat baju basah walau sebentar berada disana. Tebing batu di sisi air terjun saya melihat potensi panjat tebing extrim. Sampai saat ini belum ada orang mencoba panjat tebing disini. Padahal bila dikelola dapat menjadi alternatif petualangan extrim baru bagi peminat olahraga extrim.

Air terjun Sipiso-Piso Tampak menakjubkan dengan ktinggian 120 Meter, perhatikan tebing batu disisnya. Siapa yang merasa tertantang untuk melakukan panjat tebing disitu?

Puas mengabadikan dengan dengan foto dan video kami kembali ke atas. Jalan pulang tentu saja lebih melelahkan di banding jalan sewaktu pergi. Kami harus menaiki anak tangga yang jumlahnya ratusan. Menapaki anak tangga bagi saya sangat menyiksa betis, lutut dan paha. Bagi saya lebih baik menaiki jalan tanah menanjak di banding menaiki anak tangga ini. Sesampainya di atas saya sempatkan memadang ke arah Danau Toba yang tampak dari sini. Air berwarna emas akibat pantulan cahaya matahari senja tampak bagai lukisan kecantikan alam. Sungguh sempurna Tuhan menciptakan alam alam ini. Duduk menatap ke arah Danau Toba ini seakan terhipnotis damai dalam keindahan.

Danau Toba saat senja, di tepiannya adalah lokasi Desa Tongging berada

Setelah puas dengan itu semua, kami segera cabut dari tempat itu dan menuju Desa Tongging. Desa Tongging adalah desa nelayan yang berada di tepian Danau Toba. Didesa ini terdapat keramba serta perahu-perahu yang di tambat di tepian danau. Karena kami sampai disini malam hari, sehingga tidak puas menikmati pemandangan. Rencana awal kami hendak berkemah di tepian Danau Toba gagal karena tidak ada lokasi yang pas untuk sekedar mendirikan sebuah tenda dome.

Jadilah kami meninggalkan Desa Tongging ini kembali mengarah ke Kota Berastagi. Dan dikarenakan suatu hal kami melanjutkan perjalanan menuju ke arah medan. Mungkin karena stamina yang menurun drastis karena tadi siang habis naik ke Sibayak, dilanjutkan ke Air Terjun Sipiso-Piso dan Desa Tongging.

Kami memutuskan untuk bermalam kembali di sebuah SPBU di daerah Pancur Batu. Mushola di SPBU jadi tempat kami beristirahat malam ini, tentu saja setelah meminta izin kepada pengelola SPBU tersebut. Ini adalah kali kedua kami bermalam di SPBU setelah pada hari ketiga Expedisi kami juga sempat bermalam di salah satu SPBU di daerah Berastagi. Beginilah cara kami berpetualang dimasa muda dengan keterbatasan budget.

Hari Kelima
Pagi hari, segera saja melanjutkan perjalanan ke medan. Sampai dimedan siang ahri langsung menuju kostan kawan. Waktu yang luang dimanfaatkan untuk istirahat sejenak. Sore harinya saya sempatkan untuk jalan-jalan di kota medan. Mengunjungi tempat menarik salah satunnya adalah Vihara terbesar di Indonesia. Maha Vihara Maitreya memiliki lahan seluas 4,5 hektar. Vihara ini dibangun
pada tahun 1991, di dalam kompleks Perumahan Cemara Asri, Jl Boulevard Utara, Medan.

Di samping Vihara terdapat taman burung yang dihuni ribuan burung bangau beraneka jenis. Sangat janggal memang melihat habitat burung di tengah besarnya dan padatnya kota Medan. Selain Vihara juga terdapat bangunan lain yang tak kalah indah arsitekturnya.

Malam harinya kami berencana hendak berburu barang bekas berupa sepatu gunung yang konon harganya murah-murah. Bebrapa tempat kami datangi seperti Jl. Setia Budi, Pajak Melati dll. Sayangnya, tidak satu sepatupun kami bawa pulang. Ini karena uang yang pas-pasaan. Sayang rasanya melewatkan sepatu gunung merk K-2, KETA dan caterpillar dibandrol dengan harga Rp 150.000. Mungkin belum rejeki, tapi dilain waktu saya harus kembali kesini dengan modal yang cukup demi mendapatkan sepatu idaman tersebut.

Tidak terasa, waktu sudah tengah malam akhirnya kami pulang ke kostan kawan dan istirahat karena besok kami akan melakukan perjalanan panajang, pulang menuju Padangsidimpuan.

Hari Keenam, -Kembali ke Padangsidimpuan
Berencana berangkat pagi ternyata molor. Ini dikarenakan bangun kesianagn karena tadi malam begadang. Akhrinya baru sekitar jam 3 sore kami baru bergerak meninggalkan kota Medan menuju Padangsidimpuan. Jalanan panjang kembali ditempuh. Roda sepeda motor menggelinding melahap aspal hitam.

Pukul 9 tepat kami sudah berada di Pematangsiantar, menyempatkan diri bertemu sahabat lama sewaktu SMA dulu. Sebuah rumah makan menjadi tempat kami makan sekaligus berbincang. Tidak terasa sudah hampir satu jam kami berada disana. Jam 10 amalam kami bergerak lagi dan sampai di Parapat dua jam kemudian. Disini kami istirahat lumayan lama. Karena kami berencana jalan malam agar paginya kami sudah sampai di Padangsidimpuan. Minum segelas kopi di tepian Danau Toba lumayan handal untuk menjaga mata tetap melek mengedarai motor.

Begitulah seterusnya, berjalan sepanjang malam diselingi beberapa kali berhenti istirahat. Pukul 4 dini hari kami sampai di Tarutung. Dan pagi harinya sekitar pukul 6 kami tiba di Pahae. Disini mata sudah tidak bisa di ajak kompromi lagi. jadilah kami tidur dulu satu jam di warung kopi. Bangun tidur kami lanjutkan perjalanan kembali. Hujan rintik dan kabut tebal di daerah aeki Latong sangat menggangu pandangan. Dan akhirnya sampailah kami di Padangsidimpuan pukul 10 pagi.

Demikianlah cerita lengkap petualnagn yang baru saya selesaikan, sebuah ambisi yang akhirnya tercapai juga. Kesuksesan misi ini tentu saja karena banyak pihak yang turut membantu.

Special thanks to: Rekan-rekan KPA FORESTER, Saudara Herman Fauji, Andi Nugroho, Rekan-rekan Mapala Unimed, Serta tidak lupa rekan perjalanan saya Riski Sumanda.

Sampai Jumpa dikisah petualangan Si Bocah Rimba berikutnya.

Terus kobarkan jiwa petualanganmu kawan, agar kau tahu betapa indahnya alam ini !!!

Penulis: Decky Chandrawan